Pages

Sejarah Kebudayaan Islam


Syekh Nawawi Al-Bantani


Nama lengkap             : Abu Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi al-Tanara al-  Jawi al-Bantani
Dikenal sebagai          : Syaikh Nawawi al-Bantani
Lahir                            : 1815 M / 1230 H di Kampung Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten.
Meninggal                   : 1897 M di Makkah
Silsilah / asal               : merupakan keturunan ke – 12 dari Sunan Gunung Jati
                                      Nasabnya dikabarkan bersambung dengan Imam Muhammad al-Baqir,   Imam Ali Zayn al-Abidin, Sayyidina Husein, lalu Fatimah Az-Zahra.
Fase pendidikan pertama dengan mempelajari ilmu-ilmu dasar Islam, diantaranya : bahasa Arab (Nahwu dan Sharf), Fikih, Tauhid dan Tafsir bersama dua saudaranya, Tamim dan Ahmad, dari ayahnya sendiri (‘Umar ibn ‘Arabi). Selanjutnya, Syaikh Nawawi belajar kepada Kiyai Sahal, salah satu tokoh ulama Banten, sebelum kemudian belajar kepada Kyai Haji Yusuf di daerah Purwakarta (Karawang), Jawa Barat.
Pada usia ke-15, ia pergi ke Makkah untuk berhaji sekaligus belajar Ilmu Kalam, Bahasa dan Sastra Arab, Ilmu Hadits, Tafsir dan Ilmu Fiqih. Ketika usia 18 ia telah menghafal Al-Quran dan menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama baik tauhid, tafsir, akhlak, tarikh, maupun bahasa Arab. Dalam bidang ilmu kalam dan fiqih , pendapatnya lebih bercorak Ahlussunah wal Jama’ah. Di kota ini, Nawawi tinggal selama tiga tahun sebelum kembali pulang ke Tanara tahun 1833 M. Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok.
Nawawi al-Bantani dikenal sebagai salah satu ulama besar dikalangan umat Islam Internasional. Ia pernah menjabat sebagai Imam besar Masjidil Haram juga mendapat julukan kehormatan dari Arab Saudi, Mesir, dan Suriah, seperti Sayid ulama al-hejaz, Mufti, dan Faqih.
Namun, situasi sosial politik Banten yang makin tidak kondusif di bawah kolonialisme Belanda akhirnya mendorong Syaikh Nawawi kembali ke Makkah dan menetap selamanya di kota tersebut. Kepergiannya dinilai sebagai perlawanannya atas intervensi “kafir” Belanda sekaligus melestarikan pengaruh kerajaan Islam Banten melalui jalur pendidikan dengan cara mengkader tokoh-tokoh agama Nusantara yang belajar ke Makkah.
Sesampainya di tanah suci, Syaikh Nawawi belajar kepada beberapa guru seperti :
Di Makkah
1.        Syaikh Khatib Sambas (Kalimantan) dan
2.        Syaikh Abdul Gani Duma (Nusa Tenggara), dua ulama asal Indonesia yang bermukim di sana.
3.        Sayid Ahmad Dimyati
4.        Ahmad Zaini Dahlan

Di Madinah Ia belajar pada :
5.        Muhammad Khatib al-Hambali.

Di Mesir ia belajar pada :
6.        Syaikh Yusuf Sumbulawini
Setelah menuntut ilmu, Syaikh Nawawi mulai menuangkan gagasan dan pemikirannya dalam berbagai tulisan, baik gagasan sendiri maupun komentarnya (syarah) terhadap karya-karya ilmiah ulama terdahulu.  Tulisan-tulisannya mencakup berbagai bidang disiplin keilmuan Islam seperti Fiqh, Tauhid, Tasawuf, Tafsir dan Hadits.
Selain menulis dan mengajar, Syaikh Nawawi juga tetap melakukan kontak intelektual dengan para ulama di masanya. Sebagai apresiasi atas dedikasinya mengajar dan menulis, tahun 1870 ulama-ulama Universitas al-Azhar Mesir mengundangnya menyampaikan kuliah dalam forum diskusi ilmiyah menyusul banyaknya karya Nawawi yang tersebar di Mesir. Mereka ingin mendengar lebih detil langsung dari penulisnya. Beberapa saat pasca kunjungan ke Mesir, Syaikh Nawawi termotivasi menulis Tafsir al-Qur’an, Marāh Labīd, sebagai respon terhadap seruan gerakan pembaharuan.
Karena kecerdasan dan bekal ilmu agama yang ditekuninya selama 30 tahun, beliau menyampaikan pengajian di Masjidil Haram setiap harinya, dan banyak murid dari tanah air diantaranya           : 1.   K.H. Khalil (Bangkalan, Madura)
              2.   K.H. Asy’ari (Bawean, Madura)
              3.   K.H. Hasyim Asy’ari (Jombang, Jatim)
              4.   K.H. Dawud (Perlak)
Syaikh Nawawi al-Bantani tergolong orang yang tidak agresif dan revolusioner, tetapi anti penjajah. Strateginya melawan penjajahan adalah melalui jalur pendiddikan.
            Kelebihan dan keistimewaan syaikh Nawawi al-Bantani diantaranya    :
©      Pemakaian bahasa yang sederhana dan mudah dipahami
©      Hasil karyanya bisa istilah-istilah yang sulit dipahami
©      Kemampuan menghidupkan isi tulisan sehingga pembaca menjiwai isi tulisannya.
Pada tanggal 25 Syawwal 1314 H, Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam usia 84 tahun. Ia wafat saat masih menyusun sebuah tulisan yang menguraikan dan menjelaskan kitab Minhaj al-Thālibīn (Jalan Para Pencari Ilmu) karya Yahya ibn Sharaf ibn Mura ibn Hasan ibn Husayn. Ia dimakamkan di Ma‘la, dekat makam Siti Khadijah.
Gagasan-Gagasan Tradisi Intelektual Islam Syaikh Nawawi Al-Bantani
Gagasan-gagasan tradisi intelektual Islam yang dikembangkan Syaikh Nawawi Al-Bantani mencakup tiga garis besar utama       :
Í Pertama, penulisan kitab dalam aspek pengembangan ilmu pengetahuan Islam.
Í Kedua, membentuk koloni Islam Jawa dengan tujuan mencetak kader-kader ulama dan tokoh pergerakan di Nusantara.
Í Ketiga, penguatan dan pengembangan sistem pendidikan ilmu pengetahuan.
.

0 komentar:

Posting Komentar